Selasa, 04 November 2014
Tokoh Ilmuwan Muslim Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Ilmuwan Muslim dan Penemuannya
Berikut merupakan Tokoh-tokoh Ilmuwan Muslim beserta penemuannya :
1. Salman Al Farisi; pembuat strategi perang kanal, meriam pelontar/tank.
2. Miqdad bin Amru; pelopor pembuat pasukan kalveleri/berkuda modern pertama.
3. Al Nadim (wafat thn 990, abad ke 10); pelopor pembuat katalog/ensiklopedi kebudayaan pertama.
4. Ma’mun Ar Rasyid (thn 815, abad 9); pelopor pendiri perpustakaan umum pertama di dunia yang dikenal dengan Darul Hikmah di Baghdad.
5. Nizam Al Mulk (thn 1067); pelopor pendiri universitas modern pertama di dunia yang dikenal dengan Nizamiyyah (ditiru sistemnya oleh Oxford Univ. Inggris).
6. Al Ghazali (wafat thn 1111); pelopor pembuat klasifikasi fungsi sosial pengetahuan yang dalam perkembangannya mengarah timbulnya berbagai jenis referensi dan karya bibliografi, ahli ilmu kalam, ahli tasawuf.
7. Al Khindi (wafat thn 866); ahli/ilmuwan ensiklopedi, pengarang 270 buku, ahli matematika, fisika, musik, kedokteran, farmasi, geografi, ahli filsafat Arab dan Yunani kuno.
8. Al Farabi (wafat thn 950); ahli musik dan filsafat Yunani, (salah satu karya besarnya dijiplak bebas oleh Thomas Aquinas).
9. Ibnu Sina (wafat thn 1037) dikenal oleh barat dengan nama Aveciena; ilmuwan ensiklopedi, dokter, psikolog, penulis kaidah kedokteran modern (dipakai sebagai referensi ilmu kedokteran barat), menulis buku tentang fungsi organ tubuh, meneliti penyakit TBC, Diabetes dan penyakit yang ditimbulkan oleh efek fikiran.
10. Ibnu Rusydi (wafat thn 1198) dikenal oleh barat dengan nama Averusy; ahli fisika, ahli bahasa, ahli filsafat Yunani kuno.
11. Fakhruddin Razi (wafat thn 1290); ahli matematika, ahli fisika, tabib/dokter, filosof, penulis ensiklopedia ilmu pengetahuan modern.
12. Ibnu Khaldun (wafat thn 1406); sejarahwan, pendidik ulung, pendiri filsafat sejarah dan sosiologi.
13. Ibnu Thufail (wafat thn 1185); dokter, filosof, penulis novel filsafat paling awal Risalah Hayy Ibn Yaqzan kemudian dijiplak habis-habisan oleh Defoe dengan judul barunya Robinson Crusoe
14. Ibnu Al Muqaffa (wafat thn 757); pengarang kitab Al Hayawan atau kitab tentang Binatang/ Ensiklopedia tentang Hewan.
15. Ikhwan Ash Shafa (983); pembuat serial pertama dan ensiklopedi pertama (bukanlah Marshall Cavendish seperti yang diakui sekarang).
16. Al Khwarizmi (w.thn 850); menemukan logaritma (berasal dari nama Al Khwarizmi) dan aljabar (Al Jabr), ilmu bumi dengan menyatakan bumi itu bulat sebelum Galileo dengan bukunya Kitab Surah al Ardh.
17. Abu Wafa’ (w.thn 997); mengembangan ilmu Trigonometri dan Geometri bola serta penemu table Sinus dan Tangen, juga penemu variasi dalam gerakan bulan.
18. Umar Khayyam (w.thn 1123); memecahkan persamaan pangkat tiga dan empat melalui kerucut-kerucut yang merupakan ilmu aljabar tertinggi dalam matematika modern, penyair.
19. Al Battani (w.thn 929); ahli astronom terbesar Islam, mengetahui jarak bumi – matahari, alat ukur gata gravitasi, alat ukur garis lintang dan busur bumi pada globe dengan ketelitian sampai 3 desimal, menerangkan bahwa bumi berputar pada porosnya, mengukur keliling bumi. ( jauh sebelum Galileo), table astronomi, orbit planet-planet.
20. Ibnu Al Haytsam (w.thn 1039);Â pelopor di bidang optik dengan kamus optiknya (Kitab Al Manazhir) jauh sebelum Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Keppler, dan Newton, penemu hukum pemantulan dan pembiasan cahaya (jauh sebelum Snellius), penemu alat ukur ketinggian bintang kutub, menerangkan pertambahan ukuran bintang-bintang dekat zenit.
21. Al Tusi (w.thn 1274); Astronom kawakan dari Damaskus yang melakukan penelitian tentang gerakan planet-planet, membuat model planet (planetarium) jauh sebelum Copernicus.
22. Tsabit bin Qurrah (w.thn 901); penemu teori tentang getaran/trepidasi.
23. Jabir Ibnu Hayyan (w.thn 813); ahli kimia dengan berbagai eksperimennya, penemu sejumlah perlengkapan alat laboraturium modern, system penyulingan air, identifikasi alkali, asam, garam, mengolah asam sulfur, soda api, asam nitrihidrokhlorik pelarut logam dan air raksa (jauh sebelum Mary Mercurie), pembuat campuran komplek untuk cat.
24. Abu Bakar Ar Razi (w.thn 935); membagi zat kimia ke dalam kategori mineral, nabati dan hewani (klasifikasi zat kimia) jauh sebelum Dalton, pembagian fungsi tubuh manusia berdasarkan reaksi kimia komplek.
25. Al Majriti (w.thn 1007); membuktikan hukum ketetapan massa (900 tahun sebelum Lavoisier)
26. Al Jahiz (w.thn 869); menulis penelitian tentang ilmu hewan (zoology) pertama kali.
27. Kamaluddin Ad Damiri (w.thn1450); mengembangkan system taksonomi/ klasifikasi khusus ilmu hewan dan buku tentang kehidupan hewan.
28. Abu Bakar Al Baytar (w.thn 1340); pengarang buku tentang kedokteran hewan yang pertama.
29. Al Khazini (1121); ahli kontruksi, pengarang buku tentang teknik pengukuran (geodesi) dan kontruksi keseimbangan, kaidah mekanis, hidrostatika, fisika, teori zat padat, sifat-sifat pengungkit/tuas, teori gaya gravitasi (jauh 900 thn dari Newton)
30. Al Farghani (w.thn 870); pengarang buku tentang pergerakkan benda-benda langit dan ilmu astronomi dan dipakai oleh Dante jauh kemudian.
31. Al Razi (abad ke8); pengarang kitab Sirr Al Asrar (rahasianya rahasia) tentang penyulingan minyak mentah, pembuatan ekstrak parfum/minyak wangi (sekarang Perancis yang terkenal), ekstrak tanaman untuk keperluan obat, pembuatan sabun, kaca warna-warni, keramik, tinta, bahan celup kain, ekstrak minyak dan lemak, zat warna, bahan-bahan dari kulit, Mengembangkan penelitian tentang penyakit wanita dan kebidanan, penyakit keturunan, penyakit mata, penyakit campak dan cacar.
32. Banu Musa bersaudara (abad ke 9); pengarang buku Al Hiyal (buku alat-alat pintar) yang berisikan 100 macam mesin seperti pengisi tangki air otomatis, kincir air dan system kanal bawah tanah (sekarang yang terkenal Belanda), teknik pengolahan logam, tambang, lampu tambang, teknik survei dan pembuatan tambang bawah tanah.
33. Al Farazi (w. thn 790); perintis alat astrolab planisferis yaitu mesin hitung analog pertama, sebagai alat Bantu astronomi menghitung waktu terbit dan tenggelam serta titik kulminasi matahari dan bintang serta benda langit lainnya pada waktu tertentu.
34. Taqiuddin (1565); merintis jam mekanis pertama dan alarmnya yang digerakkan dengan pegas.
35. Ibnu Nafis (w.thn 1288); menulis dan menggambarkan tentang sirkulasi peredaran darah dalam tubuh manusia (Harvey 1628 dianggap pertama yang menemukannya).
Senin, 13 Oktober 2014
Perkembangan Peradaban dan Kebudayaan Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyyah
Perkembangan Peradaban dan Kebudayaan Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyyah
Pendahuluan
Dengan tumbangnya daulah Bani Umayyah maka keberadaan Daulah Bani Abbasiyah mendapatkan tempat penerangan dalam masa kekhalifahan Islam saat itu, dimana daulah Abbasiyah in sebelumnya telah menyusun dan menata kekuatan yang begitu rapi dan terencana. Dan dalam makalah ini akan diurakan sedikit mengenai berdirinya masa kekhalifahan Abbasiyah, sistem sosial politiknya, masa kejayaan dan prestasi apa saja yang pernah diraih serta apa saja penyebab runtuhnya daulah Abbasiyah.
A. Kelahiran Daulah Abbasiyah
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Menjelang tumbangnya Daulah Umayah telah terjadi banyak kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara; terjadi kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para Khalifah dan para pembesar negara lainnya sehingga terjadilah pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam, termasuk salah satunya pengucilan yang dilakukan Bani Umaiyah terhadap kaum mawali yang menyebabkan ketidak puasan dalam diri mereka dan akhirnya terjadi banyak kerusuhan .
Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal memberikan toleransi kepada berbagai kegiatan keluarga Syiah. Keturunan Bani Hasyim dan Bani Abbas yang ditindas oleh Daulah Umayah bergerak mencari jalan bebas, dimana mereka mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Umayah dan membangun Daulah Abbasiyah.
Di bawah pimpinan Imam mereka Muhammad bin Ali Al-Abbasy mereka bergerak dalam dua fase, yaitu fase sangat rahasia dan fase terang-terangan dan pertempuran. Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim ke seluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan-golongan yang merasa ditindas, bahkan juga dari golongan-golongan yang pada mulanya mendukung Daulah Umayah. Setelah Imam Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim, pada masanya inilah bergabung seorang pemuda berdarah Persia yang gagah berani dan cerdas dalam gerakan rahasia ini yang bernama Abu Muslim Al-Khurasani. Semenjak masuknya Abu Muslim ke dalam gerakan rahasia Abbasiyah ini, maka dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran, dan akhirnya dengan dalih ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasana kekhalifahan, Abu Abbas pimpinan gerakan tersebut berhasil menarik dukungan kaum Syiah dalam mengobarkan perlawanan terhadap kekhalifahan Umayah. Abu Abbas kemudian memulai makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua keluarga Khalifah, yang waktu itu dipegang oleh Khalifah Marwan II bin Muhammad. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu sampai Abu Abbas menyebut dirinya sang pengalir darah atau As-Saffah. Maka bertepatan pada bulan Zulhijjah 132 H (750 M) dengan terbunuhnya Khalifah Marwan II di Fusthath, Mesir dan maka resmilah berdiri Daulah Abbasiyah.
Dalam peristiwa tersebut salah seorang pewaris takhta kekhalifahan Umayah, yaitu Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol. Tokoh inilah yang kemudian berhasil menyusun kembali kekuatan Bani Umayah di seberang lautan, yaitu di keamiran Cordova. Di sana dia berhasil mengembalikan kejayaan kekhalifahan Umayah dengan nama kekhalifahan Andalusia.
Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu Abbas As-Safah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Kemudian Khalifah penggantinya Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar yang akan menguasai dunia lebih dari lima abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan nama Daulah Abbasiyah.
Dalam beberapa hal Daulah Abbasiyah memiliki kesamaan dan perbedaan dengan Daulah Umayah. Seperti yang terjadi pada masa Daulah Umayah, misalnya, para bangsawan Daulah Abbasiyah cenderung hidup mewah dan bergelimang harta. Mereka gemar memelihara budak belian serta istri peliharaan (hareem). Kehidupan lebih cenderung pada kehidupan duniawi ketimbang mengembangkan nilai-nilai agama Islam . Namun tidak dapat disangkal sebagian khalifah memiliki selera seni yang tinggi serta taat beragama.
B. Sistem Politik, Pemerintahan dan Sosial
1. Sistem Politik dan Pemerintahan
Khalifah pertama Bani Abbasiyah, Abdul Abbas yang sekaligus dianggap sebagai pendiri Bani Abbas, menyebut dirinya dengan julukan Al-Saffah yang berarti Sang Penumpah Darah. Sedangkan Khalifah Abbasiyah kedua mengambil gelar Al-Mansur dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah. Di bawah Abbasiyah, kekhalifahan berkembang sebagai system politik. Dinasti ini muncul dengan bantuan orang-orang Persia yang merasa bosan terhadap bani Umayyah di dalam masalah sosial ddan pilitik diskriminas. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang memakai gelar ”Imam”, pemimpin masyarakat muslim bertujuan untuk menekankan arti keagamaan kekhalifahan. Abbasiyah mencontoh tradisi Umayyah di dalam mengumumkan lebih dari satu putra mahkota raja.
Al-Mansur dianggap sebagai pendiri kedua dari Dinasti Abbasiyah. Di masa pemerintahannya Baghdad dibagun menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah dan merupakan pusat perdagangan serta kebudayaan. Hingga Baghdad dianggap sebagai kota terpenting di dunia pada saat itu yang kaya akan ilmu pengetahuan dan kesenian. Hingga beberapa dekade kemudian dinasti Abbasiyah mencapai masa kejayaan.
Ada beberapa sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Abbasiyah, yaitu
a. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab murni, sedangkan pejabat lainnya diambil dari kaum mawalli.
b. Kota Bagdad dijadikan sebagai ibu kota negara, ang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan ataupun kebudayaan serta terbuka untuk siapa saja, termasuk bangsa dan penganut agama lain.
c. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang mulia, yang penting dan sesuatu yang harus dikembangkan.
d. Kebebasan berpikir sebagai hak asasi manusia.
2. Sistem Sosial
Pada masa ini, sistem sosial adalah sambungan dari masa sebelumnya (Masa Dinasti Umaiyah). Akan tetapi, pada masa ini terjadi beberapa perubahan yang sangat mencolok, yaitu
a. Tampilnya kelompok mawali dalam pemerintahan serta mendapatkan tempat yang sama dalam kedudukan sosial
b. Kerajaan Islam Daulah Abbasiyah terdiri dari beberapa bangsa ang berbeda-beda (bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab dll.)
c. Perkawina campur yang melahirkan darah campuran
d. Terjadinya pertukaran pendapat, sehingga muncul kebudayaan baru .
C. Kejayaan Daulah Abbasiyah
Masa Abbasiyah menjadi tonggak puncak peradaban Islam. Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah secara terbuka mempelopori perkembangan ilmu pengetahuan dengan mendatangkan naskah-naskah kuno dari berbagai pusat peradaban sebelumnya untuk kemudian diterjemahkan, diadaptasi dan diterapkan di dunai Islam. Para ulama’ muslim yang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan baik agama maupun non agama juga muncul pada masa ini. Pesatnya perkembangan peradaban juga didukung oleh kemajua ekonomi imperium yang menjadi penghubung dunua timur dan barat. Stabilitas politik yang relatif baik terutama pada masa Abbasiyah awal ini juga menjadi pemicu kemajuan peradaban Islam
1. Gerakan penerjemahan
Meski kegiatan penerjemahan sudah dimulai sejak Daulah Umayyah, upaya untuk menerjemahkan dan menskrinsip berbahasa asing terutama bahasa yunani dan Persia ke dalam bahasa arab mengalami masa keemasan pada masa DaulahAbbasiyah. Para ilmuandiutus ke daeah Bizantium untuk mencari naskah-naskah yunanidalam berbagai ilmu terutama filasafat dan kedokteran.
Pelopor gerakan penerjemahan pada awal pemerintahan daulah Abbasiyah adalah Khalifah Al-Mansyur yang juga membangun Ibu kota Baghdad. Pada awal penerjemahan, naskah yang diterjemahkan terutama dalam bidang astrologi, kimia dan kedokteran. Kemudian naskah-naskah filsafat karya Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan. Dalam masa keemasan, karya yang banyak diterjemahkan tentang ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran. Naskah astronomi dan matematika juga diterjemahkan namun, karya-karya berupa puisi, drama, cerpen dan sejarah jarang diterjemakan karena bidang ini dianggap kurang bermanfa’at dan dalam hal bahasa, arab sendiri perkembangan ilmu-ilmu ini sudah sangat maju.
Pada masa ini, ada yang namanya Baitul hikmah yaitu perpustakaan yangberfungsi sebagai pusat pengembagan ilmu pengetahuan. Pada masa harun ar-rasyid diganti nama menjadi Khizanahal-Hikmah (Khazanah kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Pada masa al-ma’mun ia dikembangkan dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah, yang dipergunakan secara lebih maju yaitu sebagaitempatpenyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, dan bahkan dari Ethiopia danIndia. Direktur perpustakaannya seorang nasionalis Persia, Sahl Ibn Harun. Di bawah kekuasaan Al-Ma’mun, lembaga ini sebagai perpustakaan juga sebagai pusat kegiatan study dan riset astronomi dan matematika.
2. Dalam bidang filasafat
Pada masa ini pemikiran filasafat mencakup bidang keilmuan yang sangat luas seperti logika, geometri, astronomi, dan juga teologia. Beberapa tokoh yang lahir pada masa itu, termasuk diantaranya adalah Al-Kindi, Al-farobi, Ibnu Sina dan juga Al-Ghazali yang kita kenal dengan julukan Hujjatul Islam.
3. Perkembangan Ekonomi
Ekonomi imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan. Sudah terdapat berbagai macam industri sepertikain linen di Mesir, sutra dari Syiria dan Irak, kertas dari Samarkand, serta berbagai produk pertanian sepertigandum dari mesir dan kurma dari iraq. Hasil-hasil industri dan pertanian ini diperdagangkan ke berbagai wilayah kekuasaan Abbasiyahdan Negara lain.
Karena industralisasi yang muncul di perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung lagi. Selain itu, perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang dari Nubia dan Sudan Barat melambungkan perekonomian Abbasiyah.
Perdagangan dengan wilayah-wilayah lain merupakan hal yang sangat penting. Secara bersamaan dengan kemajuan Daulah Abbasiyah, Dinasti Tang di Cina juga mengalami masa puncak kejayaan sehingga hubungan erdagangan antara keduanya menambah semaraknya kegiatan perdagangan dunia.
4. Dalam bidang Keagamaan
Di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah, ilmu-ilmu keagamaan mulai dikembangkan. Dalam masa inilah ilmu metode tafsir juga mulai berkembang, terutama dua metode penafsiran, aitu tafsir bir ra’i dan tafsir bil ma’tsur .
Dalam bidang hadits, pada masa ini hanya merupakan penyempurnaan, pembukuan dari catatan dan hafalan para sahabat. Pada masa ini pula dimulainya pengklasifikasian hadits, sehingga muncul yang namanya hadits dhaif, maudlu’, shahih serta yang lainnya.
Sedangkan dalam bidang hukum Islam karya pertama yang diketahui adalah Majmu’ al Fiqh karya Zaid bin Ali (w.122 H/740 M)yang berisi tentang fiqh Syi’ah Zaidiyah. Hakimagung yang pertama adalah Abu Hanifah (w.150/767).meskidiangap sebagai pendiri madzhab hanafi,karya-karyanya sendiri tidakada yang terselamatkan. Dua bukunya yang berjudul Fiqh alAkbar (terutama berisi artikel tentang keyakinan) dan Wasiyah Abi Hanifah berisi pemikiran-pemikirannya terselamatkankarena ditulis oleh para muridnya.
D. Runtuhnya Daulah Abbasiyah
Tak ada gading ang tak retak. Mungkin pepatah inilah ang sangat pas untuk dijadikan cermin atas kejayaan ang digapai bani Abbasiah. Meskipun Daulah Abbasiyah begitu bercahaya dalam mendulang kesuksesan dalam hampir segala bidang, namun akhirnya iapun mulai kaku dan akhirnya runtuh.
Menurut beberapa literatur, ada beberapa sebab keruntuhan daulah Abbasyiah, yaitu
A. Faktor Internal
Mayoritas kholifah Abbasyiah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadi dan melalaikan tugas dan kewajiban mereka terhadap negara.
Luasnya wilayah kekuasaan kerajaan Abbasyiah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukuan.
Semakin kuatnya pengaruh keturunan Turki, mengakibatkan kelompok Arab dan Persia menaruh kecemburuan atas posisi mereka.
Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
Permusuhan antar kelompok suku dan kelompok agama.
Merajalelanya korupsi dikalangan pejabat kerajaan.
B. Faktor Eksternal
Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak korban.
Penyerbuan Tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan yang menghancrkan Baghdad. Jatuhnya Baghdad oleh Hukagu Khan menanndai berakhirnya kerajaan Abbasyiah dan muncul: Kerajaan Syafawiah di Iran, Kerajaan Usmani di Turki, dan Kerajaan Mughal di India.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dinamakan khilafah bani Abbasiyah karena para pendiri dan penguasanya adalah keturunan al Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Berdirinya Dinasti ini tidak terlepas dari keamburadulan Dinasti sebelumny, dinasti Umaiyah.
Pada mulanya ibu kota negera adalah al-Hasyimiyah dekat kufah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga setabilitas Negara al-Mansyur memindahkan ibu kota Negara ke Bagdad. Dengan demikian pusat pemerintahan dinasti Abasiyah berada di tengah-tengah bangsa Persia. Al-Mansyur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Puncak perkembangan dinasti Abbasiyah tidak seluruhnya berawal dari kreatifitas penguasa Bani Abbasiyah sendiri. Sebagian diantaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan misalnya di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Namun lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abas dengan berdirinya perpustakaan dan akademi.
Pada beberapa dekade terakhir, daulah Abbasiyah mulai mengalami kemunduran, terutama dalam bidang politiknya, dan akhirnya membawanya pada perpecahan yang menjadi akhir sejarah daulah abbasiyah.
B. Saran
Dari penjelasan di atas kita sebagai umat Islam dapat mengambil pelajaran. Sebuah sistem yang teratur akan menghasilkan pencapaian tujuan yang maksimal, seperti kisah pendirian dinasti Abbasiyah. Mereka bisa mendirikan dinasti di dalam sebuah negara yang dikuasai suatu dinasti yang menomorduakan mereka. Selain itu dari sejarah kekuasaan dinasti Abbasiyah ini kita juga bisa mengambil manfaat yang bisa kita rasakan sampai saat ini, yaitu perkembangan ilmu pengetahuan. Seharusnya kita yang hidup pada zaman modern bisa meneruskan perjuangan para ilmuwan zaman daulah Abbasiyah dahulu.
Sebaliknya, kita juga dapat belajar dari kekurangan-kekurangan yang ada pada dinasti besar ini agar tidak sampai terjadi pada diri kita dan anak cucu kita. Mereka telah dibutakan oleh kekuasaan, sehingga mereka tega membantai hampir seluruh keluarga dinasti Umayyah yang notabene adalah sesama umat Islam. Selain itu kecerobohan yang terjadi pada masa dinasti Umayyah terulang lagi pada masa dinasti Abbasiyah yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan dinasti Abbasiyah. Kebiasaan penguasa berfoya-foya menyebabkan runtuhnya kekuasaan yang telah susah payah mereka dirikan.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Karen. 2002. Islam : Sejarah Singkat. Yogyakarta : Penerbit Jendela
Hassan, Hassan Ibrahim.1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta.
Hasimy, A. 1993. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : Bulan Bintang
Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana
Sunanto, Musyifah. 2003. Sejarah Islam Klasik. Jakarta : Kencana
Syalabi, A. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 2. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Watt, W. Mongtomery.1990. Kejayaan Islam. Yogyakarta : Tiara Wacan
Kamis, 25 September 2014
Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Sejarah Dinasti Bani Abbasiyah Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu Al-Abbas, nama lengkapnya adalah Abdullah Al-Saffah Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas pada tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M). Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Bani Abbasiyah terbentuk melalui kudeta atau revolusi yang dilakukan oleh Abu Abbas as-Shaffah dengan dukungan kaum Mawali dan Syiah terhadap dinasti Umayyah di pusat kota Damaskus pada tahun 132 H/750 M. Gelar as-Shaffah “bloodshedder” bearti “yang haus darah” diberikan belakangan oleh para penulis sejarah sehubung dengan kebijakannya membunuh seluruh keturunan Umayyah dan semua lawan politiknya termasuk kelompok Syiah yang sebelumnya membantu Abbasiyah menjatuhkan dinasti Bani Umayyah. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu,para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode, yaitu: [1] 1) Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama. 2) Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama. 3) Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. 4) Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, Periode ini disebut juga masa pengaruh Turki kedua. 5) Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad. Menurut Ira M. Lapidus menyederhanakan fase dinasti Bani Abbas menjadi dua, yaitu:[2] 1) Masa awal dinasti Bani Abbas (750-833 M). 2) Masa kemunduran dinasti Bani Abbas (833-945 M). Menurut Muhammad Hudlari Bek, kekuasaan Bani Abbasiyah ada lima periode, yaitu:[3] 1. Periode kekuatan dan penuh karya, berlangsung 100 tahun (132-232 H/750-847 M) 2. Periode berkuasanya Mamalik Turki, berlangsung 102 tahun (232-334 H/847-945 M) 3. Periode berkuasanya raja- raja dinasti Buwaihi, berlangsung 113 tahun (334-447 H/945-1055 M) 4. Periode berkuasanya raja- raja dinasti Saljuk, berlangsung 83 tahun (447-530 H/1005-1136 M) 5. Periode Bani Abbasiyah mendapat kembali pengaruh politiknya, berlangsung 126 tahun (530-656 H/1135-1258 M) Pada periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Periode ini berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode pertama ini berakhir, pemerintah Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik. Meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang. Masa pemerintahan Abu Al- Abbas, pendiri dinasti Abbasiyah, sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Oleh karena itu, Pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah peminpin selanjutnya yaitu khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir, karena tidak bersedia membaitnya, dibunuh oleh Abu Muslim Al-Khurasani atas perintah Abu Ja’far. Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M. Selanjutnya, Abu Ja’far Al- Manshur melakukan perubahan mendasar bagi perkembangan dinasti Abbasiyyah sebagai Negara adikuasa di masa mendatang, yaitu:[4] 1) Pada tahun 762 M, Abu memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibu kota Persia. Dengan demikian, ibu kota pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. 2) Mengangkat sejumlah personil atau aparat untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. 3) Di bidang pemerintahan, Al- Manshur menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. 4) Membentuk lembaga protokol Negara dan sekretaris Negara 5) Membentuk kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. 6) Menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. 7) Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dahulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa Al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat dan memantapkan keamanan daerah pembatasan. Di antara usaha- usahanya tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M. ke Utara, bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantive V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bazantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India. Pada masa Al-Manshur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata, “Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi”, artinya sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi- Nya.[5] Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagai pada masa al-Khulafa al-Rasyadun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, dalam penggunaan khalifah disebut “Khalifah Allah”, artinya penguasa yang diangkat oleh Allah. Dalam dinasti Abbasiyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta”, seperti Al-Manshur adalah “gelar tahta” Abu Ja’far. “gelar tahta” itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya. Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada delapan khalifah sesudahnya, yaitu Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (775-786 M), Al-Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Amin (809-813 M), Al- Ma’mun (813-833 M), Al- Mu’tashim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).[6] Pada masa khalifah Al-Mahdi (775-785 M), perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan disektor pertanian, melalui irigasi, dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Serta dagang transit antara Timur dan Barat juga membawa kejayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Pada masa khalifah ketiga ini, para tahanan penjara yang sebelumnya dipenjara sebelum ia memerintah dikeluarkan kecuali yang melakukan kesalahan. Kemudian iapun membuat jalan untuk menuju Mekkah dan membangun perairan dari sumur- sumur besar untuk minum para musafir, dan dialirkan ke penjara-penjara serta dijaga kebersihannya. Iapun merehabilitasi masjid Al-Haram dan ia menghilangkan nama al- Walaid bin Abdil Malaik dari dinding masjid Al-Haram dan diganti namanya. Kemudian ia juga membuat kantor-kantor pos surat untuk penduduk Mekkah, Madinah, dan Yaman, dan menunjuk wakil-wakil raja di berbagai Daulat Abbasiyah. Pada masa khalifah al-Mahdi, Baghdad menjadi pusat perdagangan internasional dan perkembangan berbagai ilmu, seperti Assyiir hikmah, adab,, dan musik.[7] Pada masa Al-Harun Al-Rasyid (786-809 M), dan putranya Al- Ma’mun (813-833 M), daulat Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya. Pada masa Al- Harun Al-Rasyid sebagai khalifah menggantikan khalifah Al-Mahdi, kekayaan yang dimiliki dimanfaatkan untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian pamandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada masa khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada masa keemasannya. Pada masa inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi. Dalam tradisi Persia terdapat Jundishapur Academy, lembaga yang menjadi tempat menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja pada Sasania, kemudia Al-Harun Al-Rasyid melanjutkan tradisi itu dengan mendirikan Khizanat al-Hikmat yang berfungsi sebagai perpustakaan, tempat penerjemahan, dan penelitian.[8] Pada masa Al-Harun Al-Rasyid, sebelum meninggal ia telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi putra mahkota untuk menjadi khalifah, yaitu Al- Amin dan Al-Ma’mun. Al-Amin diberi hadiah berupa wilayah bagian Barat sedangkan Al- Ma’mun diberi hadiah berupa wilayah bagian timur. Pada masa khalifah Al-Ma’mun (813-833 M), yang menggantikan khalifah Al-Harun Al-Rasyid, dikenal dengan khilafah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku digalakkan. Untuk menerjemahkan buku- buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan menganut agama lain yang lain. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bayt al- Hikmat, yang dahulu bernama Khizanat al-Hikmat, didirikan oleh Al-Harun Al-Rasyid. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, Etiopia, dan India. Di Bayt al-Hikmat, Al-Ma’mun memperkerjakan Muhammad Ibn Musa Al-Hawarijmi yang ahli dalam bidang aljabar dan astronomi, dan orang-orang Persia.[9] Sejak abad ke 9 M. Bayt al- Hikmat dijadikan tempat penerjemah karya-karya filosof klasik di bawah bimbingan Hunyn Ibn Ishaq. [10] mereka menerjemahkan buku-buku filsafat karya Galen, Aristoteles, dan Plato. Di Bayt al-Hikmat juga terdapat observatorium astronomi untuk meneliti perbintangan. Pada masa Al- Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Pada masa Al-Ma’mun, faham mu’tazilah menjadi madzhab resmi dinasti Bani Abbas (827 M), karena Al-Ma’mun penganut aliran Mu’tazilah dan banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan falsafat Yunani. Harun Nasution menjelaskan bahwa faham Mu’tazilah yang dijadikan alat oleh al-Ma’mun untuk menguji para pemuka agama dan hakim adalah ajaran tentang kemakhlukan Al-Qur’an. [11] Dalam pandangan Mu’tazilah, al-Qur’an tidak qadim (dahulu), tetapi muhdats (baru). Karena sebagian (ayat) Al-Qur’an diturunkan lebih dahulu dari yang lainnya sedangkan sesuatu yang qadim tidak mungkin didahului oleh yang lain (idz al-qadim huwa ma la yataqaddamuh ghayruh). Aliran Mu’tazilah beragumentasi dengan Al-Quran surat Al-Hijr ayat 9. Pada masa Al-Mu’tashim (833-842 M), sebagai khalifah selanjutnya, memberikan peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keteribatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan- gerakan itu seperti gerakan Syi’ah dan konflik antarbangsa serta aliran pemikiran keagamaan, semua dapat dipadamkan. Pada Masa Al-Watsiq, sebagai khalifah selanjutnya. Al-Watsiq berusaha melepaskan diri dari pengaruh Turki dengan memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Samarra. Namun, khalifah Al-Watsiq menjadi mudah dikuasai oleh tentara pengawal Turki. Kemudian khalifah Al-Watsiq digantikan oleh Al-Mutawakkil sebagai khalifah besar terakhir, khalifah sesudahnya umumnya lemah-lemah dan tidak dapat melawan tentara pengawal dan Sultan-sultan yang menguasai ibu kota. Ibu kota kembali dipindahkan ke Baghdad oleh khalifah al-Mu’tadhid. Dari gambaran di atas terlihat bahwa, Terdapat beberapa perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah 1) Dengan ibukota Bagdad, pemerintahan menjadi jauh dari pengaruh Arab 2) Dalam stuktur Negara, Bani Abbas terdapat Wazir ( Perdana menteri ) 3) Terbentuknya militer professional pada Bani Abbas 4) Bani Abbas lebih menekankan kepada pembentukan peradaban Islam dan perkembangan kebudayaan daripada ekspansi[12] Adapun seluruh Khalifah Dinasti Bani Abbasiyah yang berkuasa berjumlah 37 orang, diantaranya sebagai berikut:[13] 1) Abu Abbas as-Saffah 132-136 H/749-754 M 2) Abu Ja’far al-Mansur 136-158 H/754-775 M 3) Abu Abdullah Muhammad al- Mahdi 158-169 H/775-785 M 4) Abu Muhammad Musa al- Hadi 169-170 H/785-786 M 5) Abu Ja’far Harun ar- Rasyid 170-193 H/786-809 M 6) Abu Musa Muhammad al- Amin 193-198 H/809-813 M 7) Abu Ja’far Abdullah al- Ma’mun 198-218 H/813-833 M 8) Abu Ishaq Muhammad al- Mu’tashim 218-227 H/833-842 M 9) Abu Ja’far Harun al- Watsiq 227-232 H/842-847 M 10)Abu Fadl Ja’far Muhammad al-Mutawakkil 232-247 H/847-861 M 11)Abu Ja’far Muhammad al- Muntashir 247-248 H/861-862 M 12)Abu Abbas Ahmad al-Musta’in 248-252 H/862-866 M 13)Abu Abdullah Muhammad al- Mu’tazz 252-255 H/866-869 M 14)Abu Ishaq Muhammad al- Muhtadi 255-256 H/869-870 M 15)Abu Abbas Ahmad al- Mu’tamid 256-279 H/870-892 M 16)Abu Abbas Muhammad al- Mu’tadhid 279-289 H/892-902 M 17)Abu Muhammad Ali al-Muktafi 289-295 H/902-908 M 18)Abu Fadl Ja’far al-Muqtadir 295-320 H/908-932 M 19)Abu Mansur Muhammad al- Qahir 320-322 H/932-934 M 20)Abu Abbas Ahmad ar-Radhi 322-329 H/934-940 M 21)Abu Ishaq Ibrahim al-Muttaqi 329-333 H/940-944 M 22)Abu Qasim Abdullah al- Mustaqfi 333-334 H/944-946 M 23)Abu Qasim al-Fadl al-Mu’thi 334-363 H/946-974 M 24)Abu Fadl Abdul Kari math- Tha’I 363-381 H/974-991 M 25)Abu Abbas Ahmad al-Qadir 381-422 H/991-1031 M 26)Abu Ja’far Abdullah al-Qa’im 422-467 H/1031-1075 M 27)Abu Qasim Abdullah al-muqtadi 467-487 H/1075-1094 M 28)Abu Abbas Ahmad al- Mustazhhir 487-512 H/1094-1118 M 29)Abu Mansur al-Fadl al- Murtasyid 512-529 H/1118-1135 M 30)Abu Ja’far al-Mansur ar- Rasyid 529-530 H/1135-1136 M 31)Abu Abdullah Muhammad al- Muqtafi 530-555 H/1136-1160 M 32)Abu Muzaffar al-Mustanjid 555-566 H/1160-1170 M 33)Abu Muhammad al-Hasan al- Mustadhi’ 566-575 H/1170-1180 M 34)Abu al-Abbas Ahmad an-Nashir 575-622 H/1180-1225 M 35)Abu Nasr Muhammad az- Zhahir 622-623 H/1225-1226 M 36)Abu Ja’far al-Mansur al- Mustanshir 623-640 H/1226-1242 M 37)Abu Ahmad Abdullah al- Musta’shim 640-656 H/1242-1256 M Khalifah dinasti Bani Abbasiyah terakhir yaitu al-Musta’shim yang dibunuh oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yang menaklukkan Baghdad tahun 656 H/1258 M. Seorang pangeran keturunan Abbasiyah berhasil lolos dari pembunuhan dan meneruskan khilafah dengan gelar Khilafah yang berkuasa di bidang keagamaan saja di bawah kekuasaan kaum Mamluk di Kairo, Mesir tanpa kekuasaan duniawi yang bergelar Sultan. Para khalifah dinasti Bani Abbasiyah yang ada di Mesir berjumlah 22 orang yaitu:[14] 1) Al-Mustanshir 659-660 H/1261-1261 M 2) Al-Hakim I 660-701 H/1261-1302 M 3) Al-Mustakfi I 701-740/1302-1340 M 4) Al-Watsiq I 740-741 H/1340-1341 M 5) Al-Hakim II 741-753 H/1341-1352 M 6) Al-Mu’tadhid 753-763 H/1352-1362 M 7) Al-Mutawakkil I 763-779 H/1362-1377, pertama kali. 8) Al-Mu’tashim 779 H/1377 M, pertama kali. 9) Al-Mutawakkil I 779-785 H/1377-1383 M, kedua kali. 10)Al-Watsiq II 785-788 H/1383-1386 M 11)Al-Mu’tashim 788-791 H/1386-1389 M, kedua kali. 12)Al-Mutawakkil I 791-808 H/1389-1406 M, ketiga kali. 13)Al-Musta’in 808-816 H/1406-1414 M 14)Al-Mu’tadhid II 816-845 H/1414-1441 M 15)Al-Mustakfi II 845-855 H/1441-1451 M 16)Al-Qa’im 855-859 H/1451-14-79 M 17)Al-Mustanjid 859-884 H/1455-1479 M 18)Al-Mutawakkil II 884-903 H/1479-1497 M 19)Al-Mustamsik 903-914 H/1497-1508 M, pertama kali. 20)Al-Mutawakkil III 914-922 H/1508-1516 M, pertama kali. 21)Al-Mustamsik 922-923 H/1516-1517 M, kedua kali. 22)Al-Mutawakkil III 923 H/1517 M, kedua kali. Jabatan khalifah yang di sandang oleh keturunan Abbasiyyah di Mesir berakhir ketika diambul oleh Sultan Salim I dari Turki Utsmani yang menguasai Mesir pada tahun 923 H/1517 M. Sejak saat itu, hilanglah Khalifah Abbasiyah untuk selama-lamanya.
Ilmu-Ilmu Yang Dikembangkan Pada Masa Dinasti Bani Abbasiyah Pada masa Bani Abbasiyah, ilmu dibedakan menjadi dua yaitu ilmu naqli dan ilmu aqli.[15] Dengan klasifikasinya sebagai berikut: Ilmu Naqli 1) Ilmu Tafsir Tafsir bi al-Ma’tsur (metode penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan cara memberi interpretasi al-Qur’an dengan hadis dan penjelasan para sahabat besarm, termasuk pendapat ahli kitab yang sudah masuk Islam dan pendapat orang yang menguasai kitab Taurat dan Injil). Tokohnya adalah Ibnu Jarir Ath Thabari dengan karyanya Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an terdiri dari 30 Juz, al- Suda (w. 127 H) menyandarkan tafsirnya kepada Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan sahabat-sahabat lainnya serta Muqotil Ibn Sulaiman yang menyandarkan tafsirnya kepada para sahabat yang mengutip dari Taurat yang diriwayatkan oleh orang Yahudi. Tafsir Diroyah/Tafsir bi al-Ra’yi/ Tafsir bi al-Aqli (menafsiran al- Qur’an dengan menggunakan akal lebih banyak daripada al- Hadis). Tokohnya adalah Abu Bakar al-Asham (w. 240 H), Abu Muslim Muhammad Ibn Baadr al- Ishfahani (w. 322 H) dengan tafsirnya Jami’ut Ta’wil 14 jilid, Ibn Jaru al-Asadi (w. 387 H), ar- Razy dengan tafsirnya Al- Muqthathaf, dan lain-lain. Mereka menganut paham Mu’tazilah. [16] 2) Ilmu Hadis Tokohnya adalah al-Aimmah al- Sittah (imam yang enam) yaitu al-Bukhari, (194-256 H) dengan kitabnya al-Jami al-Shahih dan Tarikh al-Kabir, al-Muslim (204-261 H) dengan kitabnya al- Jami Shahih Muslim, Ibnu Majjah (209-273 H) dengan kitabnya Sunan Ibnu Majjah, Abu Dawud (202-275 H) dengan kitabnya Sunan Abi Dawud, al-Tarmidzi (wafat 279 H) dengan kitabnya Sunan al-Tirmidzi, dan al-Nasa’I (225-303 H) dengan kitabnya Sunan al-Nasa’i. 3) Ilmu Fiqih Tokohnya adalah Abu Hanifah al- Nu’man Ibn Sabit (700-767 M) dengan kitabnya Musnad al-Imam al-A’dhom atau Fiqh al-Akbar, Malik Ibn Anas (713-795 M) dengan kitabnya al-Muwatha, Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i (767-820 M) dengan kitabnya al- Risalah, dan Ahmad Ibn Hambal (780—855 M) dengan kitabnya al-Musnad. Para fuqaha terbagi menjadi dua golongan, yaitu: Ahl al-Hadis yaitu golongan yang menyandarkan kepada hadis dalam mengambil hukum, pemukanya Ahmad Ibn Hambal dengan karyanya Musnad Ahmad ibn Hanbal Ahl al-Ra’yi yaitu golongan yang menggunakan akal di dalam menggali hukum, pemukanya Abu Hanifah. 4) Ilmu Tasawuf atau Mistisisme Islam Tokohnya adalah Abu Bakr Muhammad al-Kalabadi dengan karyanya al-Ta’arruf li Mazhab al-Allaf, Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) dengan karyanya Ihya ‘Ulum al-Din, Abu Nasr as- Sarraj al-Tusi dengan karyanya al-Luma’, dan lain-lain. 5) Ilmu Kalama tau Theologi Tokohnya adalah dari kalangan Mu’tazilah adalah Washil bin Atha’ (w. 748 M), al-Nazam (185-221 H), dan al-Jahir (w. 256 H), sedangkan golongan dari Ahli Sunnah seperti Abu al-Hasan al- Asy’ari (873-935 M), Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) , dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 H). 6) Ilmu Tarikh atau Sejarah Tokohnya adalah Ibnu Hasyim (abad ke 8), Ibn Sa’d (abad ke 9), dan Abu Ja’far Muhammad at-Tabari (835-923 M) karyanya Kitab Akhbarul Rasul wa Mulk (The Book of the Annals of Prophets and Kings) tentang sejaarh manusia hingga tahun 913, Firdawsi (penyair dan Bapak Sejarah Persia) karyanya Book of Kings (Shah-Namah), Ibnu Khaldun (1332-1406 M) ahli dalam teori pendidikan, karyanya Muqaddimah. 7) Ilmu Bahasa, Ilmu Tata Bahasa, Ilmu Al-Qori’ah, dan Ilmu Agama Lainya Tokohnya adalah al-Kindi (801-873 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Farabi (870-950 M), al-Razi (865-925 M), Ibn Miskawaih (932-1030 M), dan al-Ghazali (1058-1111 M). 8) Ilmu Sastra Tokohnya adalah Abu al-Farraj al-Isfahani dengan karyanya Kitab al-Aghani, Firdawsi dari Tus, karya puisinya Shah-Namah (Book of Kings) merupakan karya sastra monumental terdiri dari 60.000 kuplet (120.000 baris), dan Al-Jasyiari dengan karyanya Alf Lailat wa Laila atau One Thousand Nigh and One (Seribu Satu Malam) di pertengahan abad ke 9. 9) Ilmu Falak Tokohnya adalah Muhammad al- Fazzari (w.158 H) yang dipandang ahli falak Islam yang awal sekali dan menerjemah buku al-Sind Hind yang dianggap orang karangan Rahma Sidhanta yang mengandung banyak info mengenai falak dan matematik. [17] Ilmu Aqli 1) Ilmu Kedokteran Tokohnya adalah al-Razi (Rhazes) (865-925 M), karyanya Al-Hawi (Continens) (30 jilid), al-A’sah (The Nerves), dan al-Jami (The Universal) menuliskan filsafat, teologi, matematika, astronomi, dan ilmu pengetahuan alam, dan Ibn Sina (Avicenna) (980-1037 M) mengembangkang ilmu pengatahuan Hippocrates dan Galen maupun filsafat Aristoteles dan Plato yang berpengaruh terhadap alam berfikir Timur dan Barat.[18] 2) Ilmu Kimia Tokohnya adalah Jabir Ibn Hayyan yang berpendapat bahwa logam seperti timah, besi, dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan obat rahasia. Ia mengetahui cara membuat asam belerang, asam sendawa, dan aqua regia yang dapat menghancurkan emas dan perak. 3) Ilmu Astronomi Tokohnya adalah Al-Biruni dengan kitabnya al-Hind dan al- Qanun al-Mas’udl fi al-Hai’a wa al-Nuju. Ia secara akurat menentukan garis lintang dan garis bujur, mengukur secara teliti gaya berat khusus terhadap 18 batu dan logam mulia serta menguraikan kerja mata air alami sumur-sumur artesis, Nasiruddin Tusi menyusun table astronomi Ilkanian (Zij), menulis tentang astronomi dan kalender, matematika, dan geomancy, dan Qutubuddin Shirazi menulis pandangan terhadap alam, optic geometris, dan pelangi. 4) Ilmu Matematika Tokohnya adalah al-Khawarizmi menemukan angka 0 pada abad ke 9. Sedangkam angka 1-9 berasal dari Hindu di India. Kemudian Abul Wafa (940-997 M) ahli matematika-astronom dari Persia, sebagai orang pertama yang menunjukkan keadaan umum dari teorema relativitas sinus segitiga yang berhubungan dengan bentuk bola, table susunan sinus, tangens, table kalkulasi tangens, memperkenalkan secant dan cosecant dan contoh hubungan antara enam garis trigonometric. 5) Ilmu Optik Tokohnya adalah Ali al-Hasan Ibn Haitsam (Alhaze) menulis buku tentang Optical Thesaurus, mengoreksi teori Euclid dan Ptolemy. 6) Ilmu Fisika Tokohnya adalah Al-Bakhi (934 M) karyanya dijadikan dasar dan prinsip karya-karya geografi setelahnya oleh al-Istakhir (950 M), Ibnu Hawqal (975 M) dan al- Maqdisi (985M) dan al-Biruni menulis deskripsi tentang India, dan Nasiri Khusraw, penulis otobiografi-geografis abad ke 9 menulis Diwan, Safar-Namah (Book of Trave) dan Rawshanai- Namah (Book of Light) 7) Geografis Tokohnya adalah Abu al-Hasan Ali al-Mas’ud (abad ke 10) menulis buku Maruj al-Zahab tentang geografi, agama, adat istiadat dan lain-lain, dan Zamankhsyari (w.1144 M) seorang Persia, menulis Kitabul Amkina wal JIbal wal Miyah (The Book of Places, Mountains and Waters).
Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Bani Abbasiyah Lembaga Pendidikan Pada Masa Dinasti Abbasiyah Lembaga pendidikan pada masa Abbasiyah terdiri dari dua tingkatan,[19] yaitu: 1) Maktab atau kutub atau masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar bacaan, hitungan, dan tulisan serta tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti Tafsir, Hadis, fiqih, dan bahasa 2) Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seseorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Lembaga pendidikan pada masa Bani Abbasiyah disimbolkan dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa Bani Abbasiyah merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab disana juga orang dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban untuk semua laki-laki dan perempuan. Pada masa Bani Abbas, anak-anak perempuan hanya belajar di rumah saja. Mereka tidak diizinkan pergi ke maktab atau masjid untuk belajar. Itu pun bagi yang mampu memanggil guru ke rumahnya dan bagi yang tidak mampu maka mereka tidak belajar. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak masa Bani Umayyah maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu ditentukan oleh dua hal, yaitu: 1) Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan, misalnya pengaruh Persia terlihat dalam bidang pemerintahan, filsafat dan sastra, sedangkan pengaruh India dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. 2) Gerakan terjemahan berlangsung tiga fase,[20] yaitu: a) Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang lebih banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. b) Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah al-Mm’mun hingga tahun 300H. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. c) Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. D. Proses Runtuhnya Dinasti Bani Abbasiyah Setelah mengalami kemajuan, dinasti Bani Abbasiyah mengalami kemunduran dan kehancuran yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Adapun faktor internal,[21] yaitu: 1) Lemahnya Khalifah Sejak berakhirnya kekuasaan dinasti Saljuk atas Baghdad, khalifah Abbasiyah merdeka kembali, namun kekuasaannya hanya di daerah Baghdad saja. Sementara itu, wilayah Abbasiyah lainnya diperintah oleh dinasti- dinasti kecil yang tersebar di sebelah timur dan barat Baghdad. Khalifah dinasti Bani Abbasiyah di Baghdad berhasil mengambil kesempatan dari kelemahan kaum Saljuk dan dari gerakan-gerakan pemisahan serta mengumumkan kemerdekaannya memerintah Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya. Usaha untuk mengembalikan kekuasaan khalifah dinasti Bani Abbasiyah ini dirintis oleh khalifah al- Mustarsyid (512-529 H/1118-1135 M), kemudian dilanjutkan oleh anaknya, khalifah al-Rasyid (529-530 H/1135-1136 M) dan dilanjutkan oleh khalifah al-Muqtafi (530-555 H/1136-1160 M). Dengan demikian, sejak masa itu khalifah Bani Abbasiyah mempunyai pengaruh kembali, meskipun dalam wilayah yang terbatas. 2) Persaingan antar bangsa Adanya kecenderungan bangsa- bangsa Maroko, Mesir, Syia, Irak, Persia, Turki, dan India, untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak Abbasiyah berdiri. Periode I, pengaruh Persia, periode II, pengaruh Turki, Periode III, pengaruh Persia II, periode IV, pengaruh Turki II, dan periode V, bebas pengaruh tetapi hanya di Baghdad saja. 3) Kemerosotan ekonomi Pada periode kemunduran, pendapatan Negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan wilayah kekuasaannya semakin menyempit, banyak terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingankannya pajak, dan banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri tidak lagi membayar upeti. 4) Konflik keagamaan Kekecewaan orang Persia terhadap cita-cita yang tak tercapai mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Mazuisme, Zoroasterisme, dan Mazzdakisme. Antara orang beriman dan kaum zindik terjadi konflik bersenjata seperti gerakan al-Afsyn dan Qaramitah. Adanya konflik Syiah dan Ahlussunnah. Terjadi Mihnah pada masa al-Ma’mun (813-833 M) yang menjadikan Mu’tazilah menjadi mazhab resmi Negara. Al- Mutawakkil (847-861 M) menghapus Mu’tazilah digantikan dengan golongan Salaf pengikut Hambali yang tidak toleran terhadap Mu’tazilah yang rasional, menyempitkan horizon intelektual. Mu’tazilah bangkit kembali pada masa Buwaihi dan Saljuk, Asy’ariah menyingkirkan Mu’tazilah yang didukung al-Ghazali tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas entelektual Islam. Sementara itu, faktor eksternal kemunduran dinasti Bani Abbasiyah,[22] yaitu: 1) Perang Salib Perang antara umat Kristen dengan umat Islam yang berlangsung dari tahun 1095-1291 M, telah menelan banyak korban jiwa, ini menyebabkan khilafah Bani Abbasiyah menjadi lemah. 2) Serangan Hulagu Khan Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, melakukan serangan-serangan menuju Baghdad dengan mengalahkan Khurasan di Persia dan Hasysyasyin di Alamut terlebih dahulu. Pada tanggal 10 Februari 656 H/1258 M, ia dan pasukannya sampai ke tepi kota Baghdad. Perintah untuk menyerah ditolak oleh khalifah al-Musta’shim (khalifah terakhir Bani Abbasiyyah), sehingga Baghdad dikepung dan dihancurkan
FUNGSI SEJARAH MENURUT AL-QUR AN
“wal tandzur nafsun maa qaddamat lighad”
(Perhatikanlah sejarahmu, untuk masa depanmu)(Q.S 59:18).
Secara terminologis, kata ‘sejarah’ diambil dari bahasa Arab, ‘syajaratun[1]’ yang berarti pohon. Secara istilah, kata ini memberikan gambaran sebuah pertumbuhan peradaban manusia dengan perlambang ‘pohon’. Yang tumbuh bermula dari biji yang kecil menjadi pohon yang lebat rindang dan berkesinambungan.
Maka sesungguhnya, dari petunjuk Al Qur’an, pengertian “syajarah” berkaitan erat dengan “perubahan”. Perubahan yang bermakna “gerak” kehidupan manusia dalam menerima dan menjalankan fungsinya sebagai “khalifah” (Q.S. 2: 30). Maka tugas hidup manusia dimuka bumi adalah :” menciptakan perubahan sejarah” (khalifah).
Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran dari pesan-pesan sejarah di dalamnya, memerlukan kemampuan menangkap yang tersirat sebagai ibarat atau ibrah di dalamnya. Seperti yang tersurat dalam Q.S. 12: 111, “laqad kana fi qashasihim ‘ibratun li ulil albab”. Sesungguhnya dalam sejarah itu terdapat pesan-pesan sejarah yang penuh perlambang, bagi orang-orang yang memahaminya.
Dua pertiga Al-Qur’an disajikan dalam bentuk kisah. Al-Qur’an dan Al-Hadits ini merupakan pedoman hidup bagi manusia. Dengan demikian, betapa berkepentingannya kita terhadap kajian-kajian kesejarahan dalam kedua sumber tersebut. Menangkap pesan-pesan sejarah untuk menciptakan sejarah, untuk mengetahui “pohon sejarah” apa yang sedang dibuat. “Kasyajaratin thayyibah” pohon sejarah yang sukses dengan fondasi akar yang kuat, batang yang menjulang dan ranting yang merindang serta buah sejarah yang bisa dinikmati sepanjang musim. “Kasyajaratin khabisyah” pohon sejarah yang rapuh, akar yang tercabut dari bumi, tidak ajeg dalam hidup yang akhirnya mudah runtuh dan rubuh.
Ketika petunjuk Allah digunakan sebagai pedoman, ia diibaratkan sebagai “pelita kaca” yang bercahaya seperti mutiara dan dinyalakan dengan bahan bakar min syajaratin mubarakah (Q.S. 24: 35). Lihatlah sejarah Nabi Musa yang diibaratkan sebagai pohon yang tinggi dan tumbuh di tempat yang tinggi (Q.S. 28: 30). Sebaliknya, Al-Qur’an juga memberikan gambaran kegagalan Nabi Yunus yang dilukiskan sebagai “pohon labu” yang rendah dan lemah (Q.S. 37: 146). Sementara bagi yang mencoba menciptakan sejarah dengan menjauhkan dirinya dari petunjuk Allah, hasilnya hanyalah akan menumbuhkan sebatang “pohon pahit” (Q.S. 37: 62, 64 dan Q.S. 44: 43).
Mengapa Allah memberikan rumusan, untuk memperoleh masa depan, harus menoleh kemasa lalu? Ada apa kisah dalam sejarah dalam Al-Quran dapat digunakan sebagai pedoman “Mengubah Sejarah” ditempat berbeda, dan waktu yang tidak sama? Sejarah memberikan Mau’idzah (pelajaran) yang membuat umat Islam dzikra (sadar) sebagai actor sejarah, untuk menciptakan sejarah yang benar.
Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (Q.S 11: 120)
Pohon kehidupan di muka bumi ini telah Allah tanam sejak Allah menciptakan Adam a.s dan Ibnu Adam (keturunannya) untuk mengemban amanah penegakan kekuasaan Allah di bumi sebagai Khalifah Allah, wakil atau mandataris Allah. Inilah pohon kehidupan yang dikehendaki oleh Sang Maha Pencipta Raja seluruh Alam semesta. Pohon “Kasyajaratin thayyibah”.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-Baqarah (2) : 30)
Menurut Al-Qur’an paling tidak ada empat fungsi sejarah yang terangkum dalam q.s. 11/120 :
Dan semua kisah rasul-rasul, kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat (pelajaran) danperingatan bagi orang yang beriman. (QS Hûd : 120)
Ke-empat fungsi itu, yaitu :
1. Sejarah berfungsi sebagai peneguh hati
Dalam bahasa Al-Qur’an Allah menegaskan bahwa Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh bahwa Allah akan menjadikan mereka sebagai penguasa di muka bumi, Allah akan meneguhkan dien yang diridhoinya, dan mengganti rasa takut dengan rasa aman. Semuanya tercantum dalam QS an-Nûr ayat 55 sebagai berikut :
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.
2. Sejarah berfungsi sebagai pengajaran
Sejarah merupakan pendidikan (Ma’uidzah) Allah terhadap kaum muslimin, sebagai peringatan dalam menjalani sunnah Rasul. Pelajaran yang Allah berikan dengan tujuan melahirkan sosok ummat yang memiliki kualitas mu’min, mujahid, istiqomah, shalihun dan shabirun. Ummat yang memiliki kualitas seperti ini baru bisa diperoleh melalui interaksi dan keterlibatan diri secara langsung dalam harakah perjuangan secara total.
Dalam surat al-A’râf ayat 176, Allah swt berfirman yang artinya sebagai berikut :
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Dengan sejarah umat Islam dituntut untuk berfikir (QS al-A’râf : 176) dalam arti menjadikan sejarah sebagai pelajaran dan peringatan untuk menentukan langkah berikutnya dari suatu kesinambungan risalah dalam menggapai tujuan li ‘ila kalimatillâh.
3. Sejarah berfungsi sebagai peringatan
Selain menjelaskan fungsi sejarah, Al-Qur’an juga menegaskan tentang akhir dari perjalanan sejarah. Menurut Al-Qur’an nasib akhir sejarah adalah kemenangan keimanan atas kekafiran, kebajikan atas kemunkaran, kenyataan ini merupakan satu janji dari Allah swt yang mesti terjadi.
Sejarah juga mempunyai fungsi sebagai Nakala, yaitu peringatan terhadap generasi berikutnya melalui peristiwa yang yang menimpa generasi sebelumhya. Misal Allah menyiksa ummat dan para pelanggar ketentuan Allah (Qs. 2:66 ; 4 : 84)
Sejarah tidak akan berfungsi kalau tidak dihayati serta dipahami akan makna dan nilai dari setiap peristiwa sejarah. Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk melakukan penelitian (tandzirun) terhadap peristiwa sejarah. (Qs. 47 : 10 ; 12 : 109; 12 :46). Melalui pengkajian sejarah maka tidak akan ada setiap peristiwa besar atau kecil menjadi sia-sia tanpa tujuan. Aktifitas tandzirun tidak akan melahirkan zikra (peringatan), jika tidak dilandasi tadabbur (membaca ayat Kalamiyah Al-Qur’an).
Perjalanan suatu peristiwa sejarah ini tiada lain adalah sebagai ibadah kepada Allah dengan melaksanakan misi Ilahi yang diembankan kepada kita; sebagai jalan untuk menghantarkan kita pada tujuan tertinggi dalam kehidupan ini yakni tercapainya Rahmat dan Mardhatillah fi ad-dunya wa al-akhirah (Qs. 9 : 72)
4. Sejarah sebagai sumber kebenaran
Manusia selalu bertanya tentang siapa sebenarnya dirinya sendiri itu, berasal dari mana, harus menjalankan apa, dan akan kemana arah kehidupan ini. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu telah terjawab secara jelas melalui kitab suci Al-Qur’an.
Sebagai hudan, artinya sejarah memberi petunjuk arah bagi manusia. Orang yang memahami sejarah akan mengerti bahwa kehidupan ini dimulai dari mana, bagaimana menjalani hidup yang sebenarnya dan akan kemana perjalanan hidup ini berakhir. Jadi sejarah akan menerangi setiap langkah yang telah, sedang dan akan dijalani (Qs. 4 : 137-138 ; 12 : 111)
Sejarah sebagai tashdiq (membenarkan, meneguhkan), maksudnya sejarah menjadi legalitas (landasan kebenaran). Landasan kebenaran sejarah hari ini diukur dari peristiwa sejarah masa lalu; apakah ada kesinambungan dan kesesuaian antara sejarah hari ini dengan sejarah ummat masa lalu. Kesinambungan utama adalah : tidak terputusnya misi tauhid dan adanya kesamaan visi dan misi ideologiyang diperjuangkan dan ditegakan.
Sejarah merupakan wujud dari curahan kasih sayang dan kecintaan Allah yang dikaruniakan kepada hamba-Nya, yang melibatkan diri dalam proses sejarah (harakah Islamiyah). Disitulah akan dapat merasakan bagaimana rahmaniyyah dan rahimiyyah-Nya. (Qs. 4 : 95-96; 3 : 159). Rahmat ini hanya diberikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya yakni mereka yang beriman, berhijrah dan berjihad fisabilillah (Qs. 2 : 218 dan 157). Mereka disebut sebagai golongan yang mendapat nikmat Allah (Qs. 1 : 7 ; 4 : 69).
Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. (Qs. 4 : 69)
[1] Dalam Al-Qur’an peristiwa sejarah ini lebih dikaitkan dengan masalah pemaknaan “syajarah”.
- Al-Baqarah: 23, “wa la taqraba hadzihi syajarah.”
- Al-A’raf: 10, “wa la taqraba hadzihi syajarah.”
- Al-A’raf: 22, “alam anhakuma ‘an tilkumasy syajarah.”
- Ibrahim: 24, “masalan kalimatan thayibatan kasyajaratin thayyibah.”
- Ibrahim: 26, “wa mansyalatu kalimatin khabisyatin kasyajaratin khabisyah.”
- Al-Isra: 60, “syajaratul mal’unah.”
- Thaha: 120, “ya adamu hal adulluka ‘ala syajaratil khuldi.”
- Al-Mu’minun: 20, “wa syajaratan takhruju min thurisaina.”
- An-Nur: 35, “min syajaratin mubarakah.”
- Al-Qashash: 30, “fi buq’atil mubarakati minasy syajarati ayya Musa.”
Langganan:
Postingan (Atom)